Aku
Benci Ciuman
Karya: Radityo Muhammad Aufar
Di kelas XII IPS 2, suara kipas tua yang berderit jadi satu-satunya musik latar saat jam kosong. Aku menatap papan tulis yang masih penuh coretan rumus ekonomi dari Pak Dedi. Entah kenapa, sejak seminggu lalu, aku tidak bisa fokus. Bukan karena ujian akhir, tapi karena satu hal yang terus berputar di kepalaku: ciuman itu.
“Masih
bete, Pri?” tanya Karin, sahabatku sejak kelas sepuluh.
Karya: Radityo Muhammad Aufar
Di kelas XII IPS 2, suara kipas tua yang berderit jadi satu-satunya musik latar saat jam kosong. Aku menatap papan tulis yang masih penuh coretan rumus ekonomi dari Pak Dedi. Entah kenapa, sejak seminggu lalu, aku tidak bisa fokus. Bukan karena ujian akhir, tapi karena satu hal yang terus berputar di kepalaku: ciuman itu.
Aku hanya mendengus. “Nggak tahu. Gue cuma… jijik.”
“Dare,” jawab Wisnu dengan percaya diri.
“Cium Prita. Sekarang.”
Dan saat itu, semuanya berhenti. Dunia seakan membeku ketika bibir Wisnu menyentuh bibirku. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatku muak.
Karin terdiam. “Padahal loe cuma korban dare bodoh itu.”
“Eh, ngomongin gue ya?” katanya sambil tertawa.
Aku berdiri. “Iya. Gue mau bilang, loe keterlaluan malam itu.”
Wajah Rama kaget. “Loh, kan cuma permainan—”
“Permainan yang bikin gua benci sama ciuman. Loe tahu nggak, sejak itu Wisnu jadi nggak berani ngomong sama gue?”
“Prita,” katanya lirih. “Gue minta maaf juga. Gua nggak seharusnya nurut waktu itu.”
Aku menatap matanya yang tulus. “Gue tahu, Nu. Gua cuma… belum siap.”
Mungkin aku memang benci ciuman—tapi bukan karena ciuman itu sendiri. Aku benci karena saat itu aku tak punya pilihan.
🕊️ Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar