Rabu, 05 November 2025

Cerpen Aku Benci Ciuman

Aku Benci Ciuman
Karya: Radityo Muhammad Aufar
Di kelas XII IPS 2, suara kipas tua yang berderit jadi satu-satunya musik latar saat jam kosong. Aku menatap papan tulis yang masih penuh coretan rumus ekonomi dari Pak Dedi. Entah kenapa, sejak seminggu lalu, aku tidak bisa fokus. Bukan karena ujian akhir, tapi karena satu hal yang terus berputar di kepalaku: ciuman itu.

“Masih bete, Pri?” tanya Karin, sahabatku sejak kelas sepuluh.

Aku hanya mendengus. “Nggak tahu. Gue cuma… jijik.”

Karin tertawa kecil, padahal aku serius. Semua bermula saat acara ulang tahun Rama, cowok paling populer di sekolah yang kebetulan juga ketua OSIS. Semua orang datang, termasuk aku dan pacarku, Wisnu.

Malam itu, musik keras, lampu temaram, dan—ya, suasananya seperti pesta film remaja. Sampai ada permainan bodoh itu: Truth or Dare.

Rama tersenyum licik waktu giliran Wisnu. “Truth or dare, Nu?”

“Dare,” jawab Wisnu dengan percaya diri.

Dan Rama, dengan nada setengah bercanda, menunjuk aku.

“Cium Prita. Sekarang.”

Semua teman bersorak. Aku ingat wajah Wisnu yang sempat ragu, tapi sebelum sempat menolak, Karin malah menggoda, “Ayo, masa pacar sendiri aja malu?”

Dan saat itu, semuanya berhenti. Dunia seakan membeku ketika bibir Wisnu menyentuh bibirku. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatku muak.

Aku benci tatapan mereka setelah itu. Aku benci sorakan mereka. Dan yang paling aku benci, aku benci diriku sendiri—karena tidak sempat menolak.

Sejak malam itu, aku dan Wisnu jadi canggung. Aku menolaknya saat dia mencoba menggandeng tanganku di kantin, aku menjauh setiap kali dia ingin bicara.

“Gue cuma takut semua orang mikir gue... murahan,” ujarku pelan pada Karin.
Karin terdiam. “Padahal loe cuma korban dare bodoh itu.”
 
Rama masuk ke kelas tiba-tiba, membawa senyum sok keren khasnya.

“Eh, ngomongin gue ya?” katanya sambil tertawa.

Aku berdiri. “Iya. Gue mau bilang, loe keterlaluan malam itu.”

Wajah Rama kaget. “Loh, kan cuma permainan—”

“Permainan yang bikin gua benci sama ciuman. Loe tahu nggak, sejak itu Wisnu jadi nggak berani ngomong sama gue?”

Rama diam. Kelas jadi hening. Bahkan Karin berhenti menulis.

Setelah beberapa detik, Rama menunduk. “Maaf, Pri. Gua pikir itu lucu. Gua nggak tahu bakal bikin lu segitunya.”

Aku menghela napas panjang. “Nggak lucu sama sekali. Ciuman itu bukan bahan candaan. Apalagi kalau bukan atas kemauan sendiri.”

Sore itu, sepulang sekolah, Wisnu menunggu di gerbang.

“Prita,” katanya lirih. “Gue minta maaf juga. Gua nggak seharusnya nurut waktu itu.”

Aku menatap matanya yang tulus. “Gue tahu, Nu. Gua cuma… belum siap.”

Dia tersenyum kecil. “Kalau gitu, gua tunggu. Nggak usah terburu-buru. Gue nggak mau kehilangan kamu cuma karena hal itu.”

Aku tersenyum, untuk pertama kalinya setelah seminggu.
Mungkin aku memang benci ciuman—tapi bukan karena ciuman itu sendiri. Aku benci karena saat itu aku tak punya pilihan.

Dan kini aku tahu, cinta yang sebenarnya bukan tentang berani mencium, tapi tentang berani menghargai batas.
🕊️ Selesai.