Kamis, 28 September 2000

Ketika Masyarakat Tidak Berdaya Dan Mudah Lupa

KETIKA MASYARAKAT TIDAK BERDAYA DAN MUDAH LUPA
KERANGKA besi yang masif berdiri menandai pembangunan ulang Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur. Debunya beterbangan dan udara panas membuat orang sulit bernapas. Hiruk pikuk mesin dan peralatan pertukangan meningkahi suasana sekitar yang sampai setahun lalu masih terasa sepi dan terkesan asing. Bahkan waktu itu beberapa orang masih sering mendengar suara-suara aneh dari sekitar kompleks yang terbakar dalam kerusuhan Mei 1998. Kadang masih terdengar suara tangis dan jeritan," ujar seorang penduduk yang bermukim di perkampungan di belakang kompleks pertokoan itu. Sejak beberapa hari setelah kerusuhan, kompleks tersebut ditutup pagar seng di sekeliling.

Suara-suara yang didengar penduduk boleh jadi hanya halusinasi. Tetapi halusinasi atau apa pun namanya hanya bisa hadir kalau ada peristiwa yang sulit terlupakan di belakangnya. Untuk Yogya Plaza, peristiwa itu adalah tragedi Mei 1998: salah satu peristiwa yang bisa ditengarai sebagai sejarah hitam bangsa ini.

"Paling sedikit 400 orang mati terpanggang di tempat ini waktu kejadian itu," ujar seorang pedagang nasi yang sudah lebih sepuluh tahun bermukim di belakang kompleks pertokoan itu dengan suara berbisik. "Salah satu adik saya meninggal dalam peristiwa itu," sambung Budi (25), staf Solidaritas Nusa Bangsa, salah satu lembaga swadaya masyarakat di bidang hak asasi manusia (HAM). Budi adalah kakak dari Gunawan atau Igun (12), murid kelas VI SD, ketika tewas terbakar dalam peristiwa itu.

Di Ciledug, Tangerang, bangunan kompleks Pasar Ciledug juga sudah dibangun lagi. Di tempat itu, tidak jelas berapa persisnya jumlah korban yang terperangkap api dan tewas terpanggang dalam huru-hara 14-15 Mei 1998. Namun, diperkirakan ratusan orang meninggal karena terbakar atau tak bisa bernapas karena kehabisan oksigen.

Sampai beberapa waktu lalu, bangunan yang separuhnya telah menjadi puing dan kerangka itu sudah seperti rumah hantu. "Bulan-bulan pertama setelah peristiwa itu saya enggak berani narik lewat situ," ujar Ujang, salah satu sopir kendaraan kecil yang beroperasi di Ciledug dan sekitarnya.

Cerita yang beredar di kalangan para sopir adalah kendaraan mereka sering ditumpangi anak-anak dan orang muda, yang minta diturunkan di kompleks itu. "Mereka baunya gosong, dan hilang begitu saja ketika sampai di depan Pasar Ciledug," ujar seorang sopir yang mendengar cerita itu dari temannya, sopir lain, yang katanya mengalami sendiri kejadian tersebut.

Tentang kebenaran cerita itu, wallahualam, tetapi nyatanya jenis cerita seperti ini beredar luas sampai berbulan-bulan setelah peristiwa kerusuhan terjadi.

Slipi Plaza di bilangan Jakarta Barat bahkan sudah beroperasi sejak berbulan-bulan lalu. Bangunan yang dalam kerusuhan Mei 1998 ini menjadi lokasi tewasnya belasan anak dan orang dewasa itu tata ruangnya sudah dikembalikan seperti semula, seperti sebelum peristiwa kerusuhan Mei terjadi. Bahkan penyewa pun tetap menempati ruangan yang sama sebelum gedung itu dibakar.

Dunkin' Donuts, misalnya, masih tetap beroperasi di sudut kanan plaza itu. Pengunjungnya kembali ramai, seperti tak pernah terjadi apa-apa di tempat itu. Bayangan bangunan yang hangus dan porak peranda mendadak lenyap disiram cahaya lampu gemerlap.

***

PEMBANGUNAN ulang ini seperti memperlihatkan bagaimana bagi kebanyakan orang Tragedi Mei yang menyebabkan sedikitnya 1.217 orang tewas (Tim Relawan Kemanusiaan, 1998) tak lebih dari sekadar berita buruk di koran pagi. Sikap sebagian masyarakat terhadap horor kemanusiaan ini sungguh berbeda dengan keluarga korban. Petaka Mei itu tampaknya akan tetap membekaskan trauma panjang yang tidak tertanggungkan.

Dalam tragedi Mei 1998 ini, penderitaan karena kehilangan anggota keluarga dengan cara di luar bayangan manusia beradab ini masih ditambah dengan stigmatisasi. Ada generalisasi cap kriminal, apalagi karena sebagian besar korban berasal dari masyarakat kelas bawah. Barangkali ini pula yang membuat korban kerusuhan Mei cenderung cepat dilupakan orang.

"Anak saya tidak pulang setelah kejadian itu dan mayatnya tidak pernah ketemu," kenang Ny Imas (45) yang ditemui beberapa waktu lalu. Ia adalah ibu dari Holid Yusmana, pemuda berusia sekitar 17 tahun, siswa SMEA yang hilang dan diperkirakan tewas terpanggang di area pertokoan Yogya Plaza.

"Saya sedih sekali, tetapi juga sangat marah ketika ada tetangga bilang, 'sukur anak lu modar, siapa suruh njarah'," Ny Imas menirukan komentar tetangganya saat itu. "Kami memang miskin, tetapi saya tidak pernah mengajar anak saya mengambil barang milik orang lain."

Ia melanjutkan, malam setelah kejadian itu, "Pak RT bilang mau ada yang datang, mau mengambil barang-barang yang siangnya diambil dari kompleks pertokoan itu. Barang apa? Di sini hanya ada televisi ini," ia menunjukkan televisi berwarna berukuran 14 inci yang katanya pernah terbakar. "Kesamber gledek dan belum lunas. Saya siapkan bukti cicilan, meskipun saya merasa sangat tersinggung."

Sampai saat ini Ny Imas mengaku masih sedih kalau melihat pemuda seusia Holid. "Ia selalu bilang saya seperti Holid," ujar Rinto, salah satu anggota Tim Relawan Kemanusiaan yang bekerja untuk komunitas keluarga korban di kawasan Klender.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di rumah Igun, pada malam ia ditemukan tewas terpanggang. "Saya menandai kaus yang dipakainya, yang tidak seluruhnya terbakar," kenang Ny Ruminah, yang juga dijumpai beberapa waktu lalu. "Igun pergi diam-diam. Ketika saya sadar ia tidak ada di rumah, saya lari seperti orang gila mengejar dia."

Sampai di depan Yogya Plaza, ibu empat anak ini melihat banyak laki-laki tegap berambut pendek memaksanya masuk ke toko yang sudah dipenuhi orang. "Katanya boleh ambil apa saja. Saya bilang, saya tidak butuh apa-apa. Saya cuma mau Igun pulang. Jangan ikut-ikutan," kenang perempuan yang pada saat kebingungan itu sempat dikepung segerombolan laki-laki.

Situasi yang meluluhlantakkan perasaannya itu belum selesai. "Malamnya saya diberitahu Pak RT, katanya ada tentara mau ke rumah. Kita diminta mengembalikan barang-barang," nada suara Ny Ruminah meninggi. "Barang apa? Di rumah ini tidak ada barang jarahan. Saya ini kehilangan anak dan tidak punya urusan sama barang jarahan!"

***

CAP kriminal pula yang menyebabkan banyak orangtua di bilangan Slipi dan Ciledug untuk beberapa waktu lamanya menolak berbicara tentang anak-anak mereka yang tewas terbakar di kompleks Pasar Ciledug dan Slipi Plaza.

"Mereka langsung diam kalau ditanya," ujar seorang anggota Tim Relawan Kemanusiaan pada saat-saat awal upaya mendekati keluarga korban. Setelah beberapa waktu, baru mereka mau berbicara. Itu pun membutuhkan waktu dan kesabaran. "Saat ini ada empat keluarga yang secara intensif kami dampingi," ujar Rinda dan Indra, anggota Forum Kemanusiaan yang bekerja untuk keluarga korban Mei di Slipi, Kemanggisan, Jakarta Barat.

"Anak saya itu paling tahu kesusahan orangtuanya. Ia penolong dan tidak pernah menyusahkan," ujar Bu Harti (36), orangtua Nurhayati, siswa kelas III SLTP saat tewas di Slipi Plaza dalam kerusuhan Mei. Ibu empat anak itu menyambung hidup keluarganya dengan berjualan lontong sayur setiap pagi.

Bu Harti tak tahu persis mengapa Nur ikut-ikutan masuk ke Slipi Plaza saat itu. "Banyak orang pada disuruh masuk ke sono waktu itu. Katanya boleh ambil apa saja, enggak bayar," kenangnya. Sebenarnya, empat hari sebelumnya Nur melanjutkan rangkaian pengobatannya ke RSCM karena ia terserang epilepsi ringan. "Waktu itu ingin mengambil susu karena ingin minum susu supaya cepat sehat," sambungnya.

Nurhayati diketemukan di basement bangunan Slipi Plaza, keesokan harinya, dengan tubuh gembung dipenuhi air, tanpa luka bakar. Rupanya anak itu terperangkap di lantai bawah dan tidak tahu jalan keluar, sementara kran air terbuka dan airnya memenuhi lantai ruangan bawah tanah itu.

Yadi (12) dan Andri (15) masih hidup dalam kenangan keluarganya. "Bagaimana bisa dilupakan? Yadi itu diajak teman-temannya ke Slipi Plaza dan pulang sudah tanpa nyawa," ujar Pak Hussein, ayah korban. di mata Anto, adiknya, Yadi seperti masih hidup. "Kakak selalu main sama saya. Naik sepeda, ngajarin belajar dan main," ujar Anto.

Sementara Andri diketemukan jenazahnya di lantai empat bangunan Slipi Plaza, sehari setelah kerusuhan terjadi dan Sutarno (50), adalah ayah tujuh anak, yang terperangkap api saat hendak menyelamatkan temannya.

Penjarahkah mereka? Barangkali apa yang dikatakan para aktivis kemanusiaan jauh lebih tepat untuk menggambarkan posisi para korban: mereka adalah tumbal.

***

PEMBANGUNAN ulang berbagai bangunan sasaran kerusuhan, atau bangunan-bangunan lain di mana terjadi peristiwa yang menelan korban manusia untuk atas dasar kepentingan politik, membuat seluruh tragedi kemanusiaan-termasuk tragedi Mei-semakin tidak ada bekasnya. Apalagi, pembangunan ulang itu samasekali tidak menyadari pentingnya tetenger (tanda untuk mengingatkan). Maka, seperti halnya tragedi politik lain yang terjadi di negeri ini, peristiwa itu pun akan semakin mudah dihapus dari ingatan.

Kekhawatiran tentang upaya penghilangan ingatan akan peristiwa-peristiwa tragedi berkaitan dengan politik itu samasekali tidak mengada-ada. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) mengamati, di Indonesia, cukup banyak petaka politik yang menjadi X-file, sementara kita juga menenangkan hati dan meyakini the truth is out there; jadi tak mungkin didapatkan.

Paling tidak, kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi, susul-menyusul dan tak kalah dramatis setelah itu membuat tragedi Mei tampaknya akan menjadi bagian dari X-file; yang tidak akan terungkap tuntas, dan mungkin saja akan tetap meninggalkan stigma sebut saja teror "ninja" Banyuwangi, kerusuhan Ketapang di Ketapang, Jakarta, tragedi Aceh, kerusuhan Karawang, konflik horizontal di Ambon, Maluku dan perseteruan antarwarga di Sambas, Kalimantan Barat, persoalan di Irian Jaya, dan pengeboman di berbagai tempat di Jakarta, terakhir di Gedung BEJ yang menewaskan sekurangnya 10 korban rakyat biasa. Situasi kekerasan yang tumpang tindih di mana-mana ini membuat konsentrasi para pejuang HAM terpecah.

Sementara masyarakat sendiri barangkali persis seperti yang digambarkan Milan Kundera dalam novelnya, The Book of Laughter and Forgetting (1994), tidak berdaya dan mudah lupa, tatkala berhadapan dengan zaman di mana rentetan kejadian bergerak secepat kilat.

Kondisi ini amat kondusif bagi pihak-pihak dengan kepentingan politik tertentu untuk memanipulasi fakta, dan menjadikan fakta yang sudah dimanipulasi itu sebagai kebenaran. Di sinilah pentingnya memelihara ingatan, sepahit apa pun. Hanya dengan itu, kemungkinan mengulang tragedi serupa menjadi lebih kecil.

Paling tidak pada keluarga korban. Derita dari petaka itu harus tetap melekat dalam ingatan. Bukan untuk dendam, tetapi justru untuk mendapatkan keadilan, berapa lama pun waktu yang diperlukan.

Setidaknya sampai hari ini hampir semua keluarga korban merasa enggan melewati bangunan-bangunan di mana anak mereka tewas dalam kerusuhan itu. "Saya memilih memutar daripada harus lewat di depan situ," ujar Pak Hussein, ayah Yadi. (mh)
Sumber: Harian KOMPAS, 28 September 2000, dengan catat perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar