Pede Aja
oleh Rukman Tobing
Uh! Gue tendang kerikil itu dengan geram. Selalu begini! Kenapa tanggal 28 April harus ada? Kenapa ulang tahun sekolah harus dirayaiin? Huh, semua nyebelin!Tahun lalu, ulang tahun sekolah juga dirayaiin. Akan tetapi, gue nggak sekesal ini, karena bukan gue yang menjadi wakil kelas untuk acara pentas seni. Nah, tahun ini, gue dipilih ibu guru gue, Bu Rosinah. Gue kebagiin tugas menyanyi. Gue jadi bingung. Gimana bisa menyanyi? Berdiri di atas panggung aja gue gemetar. Semua orang akan memperhatiin gerak-gerik gue. Kalo gue salah, udah pasti ditertawaiin.
"Pede aja atuh," olok Teh Namora.
"Huh, Teh Namora! Bukannya membantu, malah meledek!" sungutku kesal.
"Bukannya meledek atuh, Vienzky. Mane teh kan paling pinter meniru gaya Inul Daratista. Teh Namora saja tidak bisa atuh," kata Teh Namora lagi memberi semangat dengan logat Sunda.
Iya, ya. Kenapa gue nggak niru gaya Inul Daratista? Sorak gue dalam hati. Pasti nggak ada yang bisa menyamaiku.
Eh, tapi gerakan harus sesuai dengan lagu. Berarti, gue harus belajar nyanyi sambil bernari.
Waktu dua minggu untuk berlatih akhirnya berlalu juga. Besok, gue harus tampil di depan puluhan orang yang mungkin akan menertawaiin gue. Uh, gue kembali mules saat memikirin ini. Sebenernya, Mama tadi berkata bahwa nyanyian gue udah bagus dan gaya gue boleh juga. Akan tetapi, gue bener-bener takut salah.
"Ma, besok Vienzky nggak mau sekolah. Takut," ujar gue kepada Mama.
"Kenapa takut neng geulis? Besok malah akan memberimu tepukan yang paling meriah!" sahut Mama.
"Gimana seandainya gue nanti lupa gerakannya?"
"Menurut mama, kata-kata Teh Namora itu benar atuh, Vien! Pede saja atuh. Selama ini, mane teh, kan sudah berlatih. Mane pasti bisa!" kata Mama meyakinkan. Gue merasa sedikit tenang mendengarnya.
"Wow, bagus bener baju loe, Vien!" kata Cantika teman gue.
"Vienzky, loe mau nyanyi apa, sih?" ganti Rendy yang bertanya.
Makin lama, makin banyak temen yang mengerubungi gue. Pasti ini gara-gar baju yang gue kenai. Teh Namora, sih, paksaiin gue pakai baju pesta ini. Biar tambah mirip Inul Daratista, katanya. Akan tetapi, dikerubungi seperti ini, gue jadi malu dan pertanyaan temen-temen gue membut gue semakin gugup.
Oo, sekarang tiba giliran gue. Belum menyanyi aja, baju pesta gue udah basat keringat. "Sekarang, kita sambut penyanyi kita... Vienzky" kata pembawa acara, Indira Hapsari berteriak memanggil nama gue, diiringi tepuk tangan meriah penonton.
Gue melangkah ke panggung dengan kepala tertunduk. Gue takut menatap orang-orang. Akhirnya, gue berada di atas panggung sendirian. Musik mulai mengalun. Hap-hap, kiri-kanan loncat, dan gue pun mulai menyanyi. Semua mengalir begitu aja, sampe tiba-tiba, BHUK! Ups, aduh! gumam gue pelan. Untung bukan saat gue bernyanyi lagu "Goyang Inul". Jadi, lagu itu nggak terganggu. Gue lihat sekeliling sambil terus menari dan bergoyang. Aneh! Nggak ada penonton yang ketawa. Mereka tetep serius menikmati nyanyian gue.
Akhirnya, semua memberi gue tepukan seusai gue menyanyi. Kenapa gue harus tersandung kabel segala, sih, temen-temen gue pasti akan mengejek gue habis-habisin, gerutu gue dalam hati.
"Vienzky, hebat banget loe!" puji Cantika mengejutkan gue.
"Iya, tarian loe bagus banget! Apa nggak sakit, tuh, Vien, menari seperi itu?" kata Desica menimpali. Berarti temen-temen gue nggak tahu bahwa tadi gue bener-bener jatuh. Mereka kiraiin itu bagian dari tarian gue.
"Vien, ajari gue dong, ya! Tahun depan, kan, giliran gue," kata Desica lagi.
Gue nggak bicara apa-apa. Saat itu, gue hanya mau pulang dan bercerita kepada Mama, Papa, dan Teh Namora bahwa gue berhasil. Bahkan, saat jatuh pun mereka kiraiin gue menari. Gue seneng sekali. Ternyata, Teh Namora bener. Pede aja!
Sumber: Tabloid Gaul, Periode 6-12 Mei 2004