KETIKA
MASYARAKAT TIDAK BERDAYA DAN MUDAH LUPA
KERANGKA besi yang masif berdiri menandai pembangunan ulang Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur. Debunya beterbangan dan udara panas membuat orang sulit bernapas. Hiruk pikuk mesin dan peralatan pertukangan meningkahi suasana sekitar yang sampai setahun lalu masih terasa sepi dan terkesan asing. Bahkan waktu itu beberapa orang masih sering mendengar suara-suara aneh dari sekitar kompleks yang terbakar dalam kerusuhan Mei 1998. Kadang masih terdengar suara tangis dan jeritan," ujar seorang penduduk yang bermukim di perkampungan di belakang kompleks pertokoan itu. Sejak beberapa hari setelah kerusuhan, kompleks tersebut ditutup pagar seng di sekeliling.
Suara-suara
yang didengar penduduk boleh jadi hanya halusinasi. Tetapi halusinasi atau apa
pun namanya hanya bisa hadir kalau ada peristiwa yang sulit terlupakan di
belakangnya. Untuk Yogya Plaza, peristiwa itu adalah tragedi Mei 1998: salah
satu peristiwa yang bisa ditengarai sebagai sejarah hitam bangsa ini.
"Paling
sedikit 400 orang mati terpanggang di tempat ini waktu kejadian itu," ujar
seorang pedagang nasi yang sudah lebih sepuluh tahun bermukim di belakang
kompleks pertokoan itu dengan suara berbisik. "Salah satu adik saya
meninggal dalam peristiwa itu," sambung Budi (25), staf Solidaritas Nusa
Bangsa, salah satu lembaga swadaya masyarakat di bidang hak asasi manusia
(HAM). Budi adalah kakak dari Gunawan atau Igun (12), murid kelas VI SD, ketika
tewas terbakar dalam peristiwa itu.
Di
Ciledug, Tangerang, bangunan kompleks Pasar Ciledug juga sudah dibangun lagi.
Di tempat itu, tidak jelas berapa persisnya jumlah korban yang terperangkap api
dan tewas terpanggang dalam huru-hara 14-15 Mei 1998. Namun, diperkirakan
ratusan orang meninggal karena terbakar atau tak bisa bernapas karena kehabisan
oksigen.
Sampai
beberapa waktu lalu, bangunan yang separuhnya telah menjadi puing dan kerangka
itu sudah seperti rumah hantu. "Bulan-bulan pertama setelah peristiwa itu
saya enggak berani narik lewat situ," ujar Ujang, salah satu sopir
kendaraan kecil yang beroperasi di Ciledug dan sekitarnya.
Cerita
yang beredar di kalangan para sopir adalah kendaraan mereka sering ditumpangi
anak-anak dan orang muda, yang minta diturunkan di kompleks itu. "Mereka
baunya gosong, dan hilang begitu saja ketika sampai di depan Pasar
Ciledug," ujar seorang sopir yang mendengar cerita itu dari temannya,
sopir lain, yang katanya mengalami sendiri kejadian tersebut.
Tentang
kebenaran cerita itu, wallahualam, tetapi nyatanya jenis cerita seperti ini
beredar luas sampai berbulan-bulan setelah peristiwa kerusuhan terjadi.
Slipi
Plaza di bilangan Jakarta Barat bahkan sudah beroperasi sejak berbulan-bulan
lalu. Bangunan yang dalam kerusuhan Mei 1998 ini menjadi lokasi tewasnya
belasan anak dan orang dewasa itu tata ruangnya sudah dikembalikan seperti
semula, seperti sebelum peristiwa kerusuhan Mei terjadi. Bahkan penyewa pun
tetap menempati ruangan yang sama sebelum gedung itu dibakar.
Dunkin'
Donuts, misalnya, masih tetap beroperasi di sudut kanan plaza itu.
Pengunjungnya kembali ramai, seperti tak pernah terjadi apa-apa di tempat itu.
Bayangan bangunan yang hangus dan porak peranda mendadak lenyap disiram cahaya
lampu gemerlap.
PEMBANGUNAN
ulang ini seperti memperlihatkan bagaimana bagi kebanyakan orang Tragedi Mei
yang menyebabkan sedikitnya 1.217 orang tewas (Tim Relawan Kemanusiaan, 1998)
tak lebih dari sekadar berita buruk di koran pagi. Sikap sebagian masyarakat
terhadap horor kemanusiaan ini sungguh berbeda dengan keluarga korban. Petaka
Mei itu tampaknya akan tetap membekaskan trauma panjang yang tidak
tertanggungkan.
Dalam
tragedi Mei 1998 ini, penderitaan karena kehilangan anggota keluarga dengan
cara di luar bayangan manusia beradab ini masih ditambah dengan stigmatisasi.
Ada generalisasi cap kriminal, apalagi karena sebagian besar korban berasal
dari masyarakat kelas bawah. Barangkali ini pula yang membuat korban kerusuhan
Mei cenderung cepat dilupakan orang.
"Anak
saya tidak pulang setelah kejadian itu dan mayatnya tidak pernah ketemu,"
kenang Ny Imas (45) yang ditemui beberapa waktu lalu. Ia adalah ibu dari Holid
Yusmana, pemuda berusia sekitar 17 tahun, siswa SMEA yang hilang dan
diperkirakan tewas terpanggang di area pertokoan Yogya Plaza.
"Saya
sedih sekali, tetapi juga sangat marah ketika ada tetangga bilang, 'sukur anak
lu modar, siapa suruh njarah'," Ny Imas menirukan komentar tetangganya
saat itu. "Kami memang miskin, tetapi saya tidak pernah mengajar anak saya
mengambil barang milik orang lain."
Ia
melanjutkan, malam setelah kejadian itu, "Pak RT bilang mau ada yang
datang, mau mengambil barang-barang yang siangnya diambil dari kompleks
pertokoan itu. Barang apa? Di sini hanya ada televisi ini," ia menunjukkan
televisi berwarna berukuran 14 inci yang katanya pernah terbakar.
"Kesamber gledek dan belum lunas. Saya siapkan bukti cicilan, meskipun
saya merasa sangat tersinggung."
Sampai
saat ini Ny Imas mengaku masih sedih kalau melihat pemuda seusia Holid.
"Ia selalu bilang saya seperti Holid," ujar Rinto, salah satu anggota
Tim Relawan Kemanusiaan yang bekerja untuk komunitas keluarga korban di kawasan
Klender.
Hal
yang kurang lebih sama juga terjadi di rumah Igun, pada malam ia ditemukan
tewas terpanggang. "Saya menandai kaus yang dipakainya, yang tidak
seluruhnya terbakar," kenang Ny Ruminah, yang juga dijumpai beberapa waktu
lalu. "Igun pergi diam-diam. Ketika saya sadar ia tidak ada di rumah, saya
lari seperti orang gila mengejar dia."
KERANGKA besi yang masif berdiri menandai pembangunan ulang Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur. Debunya beterbangan dan udara panas membuat orang sulit bernapas. Hiruk pikuk mesin dan peralatan pertukangan meningkahi suasana sekitar yang sampai setahun lalu masih terasa sepi dan terkesan asing. Bahkan waktu itu beberapa orang masih sering mendengar suara-suara aneh dari sekitar kompleks yang terbakar dalam kerusuhan Mei 1998. Kadang masih terdengar suara tangis dan jeritan," ujar seorang penduduk yang bermukim di perkampungan di belakang kompleks pertokoan itu. Sejak beberapa hari setelah kerusuhan, kompleks tersebut ditutup pagar seng di sekeliling.
***
Sampai di depan Yogya Plaza, ibu empat anak ini melihat banyak laki-laki tegap berambut pendek memaksanya masuk ke toko yang sudah dipenuhi orang. "Katanya boleh ambil apa saja. Saya bilang, saya tidak butuh apa-apa. Saya cuma mau Igun pulang. Jangan ikut-ikutan," kenang perempuan yang pada saat kebingungan itu sempat dikepung segerombolan laki-laki.
***
***
Sumber: Harian KOMPAS, 28 September 2000, dengan catat perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar